Written by Indri Dwi Sapitri, August 05, 2021
Sebelum melangkah lebih jauh ke pembahasan mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi nilai tukar mata uang, sangat penting untuk memahami arti dari mata uang. Uang adalah benda yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Baik dalam bentuk kertas maupun koin, kita membutuhkan uang untuk bertransaksi sehari-hari. Zaman dahulu, uang masih belum lazim digunakan dan masyarakat menggunakan sistem barter. Sayangnya, hal ini sangat tidak praktis dan sulit menemukan partner barter yang membutuhkan hal setara. Karena itu, diciptakanlah uang sebagai alat yang digunakan orang untuk membeli barang dan membayar jasa.
Sementara itu, mata uang adalah satuan nilai dari alat pembayaran yang diterima dan berlaku secara sah untuk melakukan transaksi ekonomi di suatu negara. Contohnya di Indonesia, mata uang yang berlaku adalah Rupiah (IDR), di Amerika Serikat menggunakan US Dollar (USD), Uni Eropa menggunakan Euro (EUR), dan Inggris menggunakan Poundsterling (GBP).
Setelah tau definisi mata uang, sekarang saatnya kita membahas tentang perbedaan antara nilai tukar dengan mata uang. Berbeda dengan mata uang yang hanya fokus pada mata uang satu negara, nilai tukar adalah acuan daya beli mata uang satu negara terhadap mata uang negara lain.
Nilai tukar mata uang sering juga disebut sebagai kurs. Ketika kita bertransaksi dengan warga dari negara lain yang tidak menggunakan rupiah, tentu kita perlu mencari jalan tengah untuk menentukan nilai tukar yang sesuai. Dengan adanya nilai tukar mata uang yang pakem, transaksi antar negara menjadi lebih lancar dan terkendali, karena pergerakan kurs ini diawasi oleh bank Sentral. Karena itu, Anda mungkin sering mendengar kurs Dolar-Rupiah, yang memberikan perbandingan antara 1 Dolar harus ditukar dengan berapa rupiah.
Kurs mata uang ini diperhatikan oleh banyak pihak, terutama para pelaku industri ekspor impor dan pasar forex. Para pelaku industri perlu menghitung juga kurs mata uang ketika menjual atau membeli barang dari negara lain, sementara pelaku pasar forex memanfaatkan selisih nilai tukar mata uang untuk meraup cuan.
Karena melibatkan kepentingan beragam pihak, pengaturan nilai tukar mata uang ini sangat kompleks. Karena itu, ada dua jenis nilai tukar yang dikenal oleh masyarakat, yaitu Kurs Nominal dan Kurs Riil. Lalu, apa beda antara keduanya? Mari kita bahas satu-persatu!
Dalam bahasa Inggris, kurs nominal disebut sebagai Nominal Exchange Rate. Nilai tukar ini digunakan ketika kita akan melakukan antar mata uang. Misalnya ketika Anda akan pergi ke Amerika Serikat dan membutuhkan uang 100 USD, ternyata Anda harus menyiapkan uang senilai 1,500,000 rupiah. Itu artinya, kurs nominal 1 Dolar AS senilai 15,000 rupiah.
Berbeda dengan kurs nominal yang secara langsung membandingkan antara 2 mata uang, kurs rill digunakan ketika Anda akan menukar barang atau jasa antar negara. Kurs riil, atau dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut Real Exchange Rate berlaku sebagai pembanding.
Contohnya saja:
Anda ingin membeli souvenir dari Jepang seharga 100 yen, sedangkan di Indonesia harganya sebesar 13,000. Untuk mendapatkan kurs riil yang sesuai, maka ubah nilainya menjadi mata uang umum, karena 1 JPY senilai 130 rupiah, maka harga souvenir tersebut 130,000. Sehingga dalam membandingkan harga tas di Amerika dan Indonesia, dapat disimpulkan harga tas di Indonesia ½ harga dari harga tas di Amerika.
Perbedaan Tingkat Inflasi Antara Dua Negara
Suatu negara dengan tingkat inflasi konsisten rendah akan lebih kuat nilai tukar mata uangnya dibandingkan negara yang inflasinya lebih tinggi. Daya beli (purchasing power) mata uang tersebut relatif lebih besar dari negara lain. Pada akhir abad 20 lalu, negara-negara dengan tingkat inflasi rendah adalah Jepang, Jerman dan Swiss, sementara Amerika Serikat dan Canada menyusul kemudian. Nilai tukar mata uang negara-negara yang inflasinya lebih tinggi akan mengalami depresiasi dibandingkan negara partner dagangnya.
Perbedaan Tingkat Suku Bunga Antara Dua Negara
Suku bunga, inflasi, dan nilai tukar sangat berhubungan erat. Dengan merubah tingkat suku bunga, bank sentral suatu negara bisa mempengaruhi inflasi dan nilai tukar mata uang. Suku bunga yang lebih tinggi akan menyebabkan permintaan mata uang negara tersebut meningkat.
Investor domestik dan luar negeri akan tertarik dengan return yang lebih besar. Namun jika inflasi kembali tinggi, investor akan keluar hingga bank sentral menaikkan suku bunganya lagi. Sebaliknya, jika bank sentral menurunkan suku bunga maka akan cenderung memperlemah nilai tukar mata uang negara tersebut.
Neraca Perdagangan
Neraca perdagangan antara dua negara berisi semua pembayaran dari hasil jual beli barang dan jasa. Neraca perdagangan suatu negara disebut defisit bila negara tersebut membayar lebih banyak ke negara partner dagangnya dibandingkan dengan pembayaran yang diperoleh dari negara partner dagang.
Dalam hal ini negara tersebut membutuhkan lebih banyak mata uang negara partner dagang, yang menyebabkan nilai tukar mata uang negara tersebut terhadap negara partnernya melemah. Keadaan sebaliknya disebut surplus, dimana nilai tukar mata uang negara tersebut menguat terhadap negara partner dagang.
Hutang Publik (Public Debt)
Neraca anggaran domestik suatu negara digunakan juga untuk membiayai proyek-proyek untuk kepentingan publik dan pemerintahan. Jika anggaran defisit maka public debt membengkak. Public debt yang tinggi akan menyebabkan naiknya inflasi. Defisit anggaran bisa ditutup dengan menjual bond pemerintah atau mencetak uang.
Keadaan bisa memburuk bila hutang yang besar menyebabkan negara tersebut default (gagal bayar) sehingga peringkat hutangnya turun. Public debt yang tinggi jelas akan cenderung memperlemah nilai tukar mata uang negara tersebut.