Written by Hadi Jumaidi, April 09, 2020
Tahukah anda? Pada tanggal 23 Juni 2016, Inggris akan menggelar referendum untuk memutuskan apakah akan meninggalkan Uni Eropa atau tidak. Kejadian dijuluki British Exit atau Brexit oleh media. Tetapi sebenarnya Inggris tidak langsung keluar dari Uni Eropa segera setelah hasil referendum Brexit tersebut diumumkan. Melainkan ada proses yang harus dijalani sebelum Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa
Keanggotaan Inggris di Uni Eropa dianggap sebagai penghalang bagi Inggris untuk mengubah regulasi. Euro sendiri dituding sebagai penyebab penderitaan ekonomi bagi orang-orang miskin di Eropa. Intinya, oleh sebagian kalangan kebijakan Uni Eropa telah menjadi sumber ketidakstabilan.
Sebenarnya tidak ada definisi yang baku untuk kedua istilah tersebut, namun seringkali dipergunakan untuk menggambarkan sedekat apa nantinya hubungan Inggris dengan EU pasca Brexit. Kondisi Hard Brexit adalah ketika Inggris memilih kebijakan proteksionis dengan sepenuhnya menutup akses ke pasar tunggal Uni Eropa. Dengan demikian, Inggris akan memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur anggaran, undang-undang dan aturan keimigrasian di negaranya sendiri.
Sedangkan Soft Brexit lebih lunak. Pilihan soft Brexit akan tetap membuka beberapa akses bebas tarif ke pasar tunggal. Tetapi pilihan ini kemungkinan juga akan membuat Inggris tetap terikat pada beberapa aturan EU, seperti kontribusi pada anggaran keuangan EU dan/atau memberi kebebasan bagi warga negara anggota EU untuk bekerja di Inggris. Kondisi tersebut mirip dengan yang dijalani Norwegia saat ini. Norwegia bukan anggota EU, namun masuk ke dalam keanggotaan European Economic Area.