Delisting adalah penghapusan pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Setelah delisting, saham tidak bisa ditransaksikan di BEI. Status perusahaan yang telah delisting biasanya tetap menjadi perusahaan publik tapi sahamnya tidak tercatat di BEI. Perusahaan yang sahamnya sudah delisting, tidak lagi memiliki kewajiban sebagai perusahaan tercatat. Kendati demikian, perusahaan tersebut diperbolehkan untuk kembali mencatatkan sahamnya di BEI sesuai ketentuan yang berlaku (relisting). Relisting bisa dilakukan enam bulan usai delisting efektif.
Bursa Efek Indonesia tidak akan mendadak men-delisting perusahaan mana pun tanpa peringatan bagi para pemilik saham. Biasanya, saham-saham yang mengalami delisting paksa merupakan saham-saham yang sudah lama disuspensi atau saham-saham tidur. Setelah pengumuman saham delisting disampaikan kepada publik, BEI akan membuka suspensinya selama beberapa hari. Selama waktu yang telah ditentukan itu, kita boleh menjual saham di pasar negosiasi. Sayangnya, penjualan saham-saham yang akan delisting ini biasanya sepi peminat. Saking sepinya peminat, harga akhirnya cenderung didikte oleh buyer. Investor yang ngebet ingin melepas saham kemungkinan terpaksa menerima berapapun harga yang diminta buyer. Realisasi eksekusi jual untuk saham yang delisting paksa bahkan bisa di bawah 10 rupiah per lembar.
Kita bisa saja memilih untuk tidak menjual saham delisting dalam portofolio. Tapi, ini bakal jadi mimpi buruk kalau saham koleksi mengalami delisting paksa. Mengapa? Keberlangsungan bisnis perusahaan yang delisting biasanya sudah di ujung tanduk, sehingga akan mengalami pailit atau bahkan gulung tikar. Padahal, pemilik saham kecil menempati urutan terakhir dalam daftar pihak yang akan memperoleh ganti rugi dari likuidasi perusahaan. Kamu bisa jadi takkan memperoleh uang sepeserpun.
Hingga saat ini, emiten yang mengalami delisting paksa di Bursa Efek Indonesia tidak dibebani kewajiban untuk membeli kembali saham yang dipegang publik. Oleh karena itu, investor tak bisa memilih opsi menjual saham kembali ke perusahaan. Baru-baru ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kabarnya sedang mempertimbangkan untuk meluncurkan aturan baru guna mewajibkan emiten yang mengalami delisting paksa untuk membeli kembali semua sahamnya yang beredar di publik. Tapi hingga artikel ini ditulis pada 11 Agustus 2020, belum ada berita lebih lanjut mengenai apakah peraturan baru ini sudah disahkan atau belum.
Seandainya perusahaan yang di-delisting paksa diwajibkan untuk membeli kembali saham publik, hal ini bisa menjadi solusi terbaik bagi investor. Meski demikian, kita tak bisa berharap akan memperoleh modal kembali seperti semula. Ingat, perusahaan yang mengalami delisting paksa umumnya mengalami masalah keuangan.