Source : beritasatu.com

Hari ini Senin 10 Agustus 2020 adalah Hari Ulang Tahun (HUT) Pasar Modal Indonesia ke-43 terhitung sejak diaktifkannya kembali pada 10 Agustus 1977. Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC. Meski telah ada sejak zaman Belanda, pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan. Bahkan pada beberapa periode kegiatannya sempat vakum.

Salah satu persoalan klasik yang membelit industri pasar modal hingga kini adalah minimnya jumlah investor. Padahal keberadaan mereka sangat penting sebagai tiang pancang fundamental bursa di Tanah Air. Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, jumlah investor yang tercermin pada jumlah single investor identification (SID) di pasar modal per 30 Juni 2020 mencapai 2,92 juta investor. Pencapaian tersebut masih jauh dari jumlah penduduk Indonesia yang hampir 270 juta jiwa. Namun angkanya meningkat dibandingkan 2019 yang hanya mencapai 2,48 juta investor.

Direktur PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan untuk memperkuat basis investor ritel domestik di bursa Tanah Air, regulator perlu gencar melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat guna meningkatkan kesadaran berinvesasi.

Dia mengatakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) didorong membidik pasar potensial khususnya dari kalangan akademisi agar masyarakat Indonesia lebih melek investasi. Menurutnya, salah satu faktor minimnya masyarakat berinvestasi ke pasar modal karena rendahnya literasi. “Gandeng dosen dan guru untuk sosialisasi sadar investasi,” kata Hans Kwee kepada Beritasatu.com, Senin (10/8/2020).

Hans menjelaskan, jika investor ritel dan domestik kuat, maka kenaikan pasar modal bisa dinikmati. Di sisi lain, jika ada guncangan yang membuat investor asing kocar-kacir, investor ritel akan menjadi bumper dan menyelamatkan market tidak terjerumus lebih dalam. “Pasar lebih kuat karena tidak bergantung dan terpengaruh investor asing,” kata Hans.

President and Founder at PT Astronacci International Gema Goeyardi mengatakan, salah satu faktor yang membuat masyarakat masih enggan berinvestasi di pasar modal adalah masih ada emiten-emiten nakal dan tidak peduli dengan harga sahamnya. Untuk menyikapi itu, regulator BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta tegas. “Bahkan jika perlu (emiten nakal) dikeluarkan dari bursa,” kata Gema kepada Beritasatu.com.

Selain itu, peran OJK dalam mengawasi emiten yang tidak bertanggung jawab, harus diperkuat. Sehingga para investor pemula tidak trauma akibat ulah oknum-oknum emiten.

Gema Goeryadi menambahkan BEI juga bisa memperlebar sayap ke investor dari berbagai latar belakang. Pengusaha berskala usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang memang sudah punya banyak uang nganggur diharapkan lebih bisa terjamah di pasar modal, sebelum mereka di prospek money game dan investasi bodong “Perbanyak edukasi agar masyarakat tahu bagaimana trading yang profitable,” kata Gema.

Ke depannya, BEI bisa mewujudkan market yang efisien. Aturan atau mekanisme pasar perlu diriset lagi, apakah sesuai untuk investor dan keadaan ekonomi yang berlangsung.

Senada, analis CSA Research Institute Reza Priyambada menegaskan untuk mendongkrak jumlah investor di pasar modal kuncinya adalah edukasi. Langkah ini disandingkan dengan pemasaran akan pentingnya investasi pasar modal di masyarakat. Tanpa upaya ini jangan harap, penetrasi pasar modal di Tanah Air akan sukses. “Kalau masyarakat aware, dengan sendirinya pasar modal dalam negeri akan kuat dan tahan krisis,” kata Reza Priyambada kepada Beritasatu.com.

Investor Milenial Bertumbuh
Untuk menggaet investor domestik di bursa, BEI memang tidak tinggal diam. Bahkan di masa pandemi pandemi Covid-19, otoritas bursa, bersama anggota bursa (AB), dan Manajer Investasi (MI) mengoptimalkan seluruh saluran komunikasi mulai media massa hingga media sosial untuk mengedukasi dan mensosialisasi investor. Salah satu sasarannya adalah investor milenial yang melek teknologi. Pasalnya, kelompok generasi muda ini kerap menggunakan platform digital untuk mencari informasi mengenai investasi pasar modal.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengatakan, BEI menggenjot program Waktu Indonesia Berinvestasi alias WIB di kanal digital untuk menjangkau seluruh calon investor, termasuk kalangan milenial. “Kegiatan ini dilakukan oleh di kantor pusat maupun di seluruh Kantor Perwakilan BEI, yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia,” kata dia.

Hasan mengklaim terobosan lain yang mendapatkan momentum di tengah kondisi pendemi yakni pembukaan rekening efek secara daring atau online. Proses simplifikasi pembukaan rekening efek dan rekening dana investor secara elektronik juga telah dapat dilakukan AB mitra BEI.

Hasan Fawzi mengatakan, digitalisasi tidak hanya memperluas akses investor ke pasar modal, namun juga mengenalkan investasi kepada masyarakat. Dengan teknologi, memungkinkan masyarakat bisa memahami investasi tanpa terbatas tempat dan waktu.

Hasan menjelaskan, selama masa pandemi Covid-19, bursa melakukan sekitar 3.991 kegiatan edukasi kepada 600.622 investor dan calon investor. Kegiatan ini menghasilkan 30.964 pembukaan rekening investasi baru.

Menurut Reza Priyambada, bertumbuhnya investor milenial merupakan kemajuan berarti di pasar modal Tanah Air. “Ada perubahan orientasi dan kluster investor yang mulai banyak diisi oleh investor muda,” kata Reza

Reza berharap kehadiran investor milenial bisa memahami dinamika pasar hingga valuasi emiten, sehingga pergerakan harga efek di pasar modal memang mencerminkan fundamentalnya.

Sementara Gema Goeryadi mengatakan meningkatnya investor pasar modal dari kalangan milenial sebisa mungkin dirawat dengan baik. “Jangan kena tipu emiten-emiten legal, tapi tidak bertanggung jawab, kata dia.

Berdasarkan data KSEI, berkat digitalisasi, jumlah investor di usia muda dan milenial bertambah. Per 30 Juni 2020, jumlah investor di bawah 30 tahun mencapai 45,74 persen dari jumlah investor. Sedangkan investor di usia 31-40 tahun berjumlah 24,57 persen dari total investor.

KSEI juga mencatat, sejak 2016-Mei 2020 pertumbuhan investor baru paling agresif terjadi pada usia 18-30 tahun. Secara rinci, investor usia 18-25 tahun jumlahnya telah meningkat 338,61 persen pada periode tersebut, sementara pada rentang usia 26-30 tahun, pertumbuhan kumulatifnya mencapai 204,97 persen. Sedangkan, investor berusia 31-40 tahun mengalami pertumbuhan kumulatif 113,85 persen, dan investor berusia di atas 41 tahun bertumbuh 52,06 persen.

Pada Juni 2020, jumlah investor di pasar modal mencapai 2,92 juta orang. Penambahan paling banyak berasal dari investor reksa dana dan obligasi, yakni dari 1,77 juta investor pada 2019 menjadi 2,19 juta investor pada Juni 2020. Sementara, jumlah investor saham pada Juni 2020 tercatat baru 42,4 persen atau sekitar 1,23 juta investor. Namun, dilihat dari sebaran investor, jumlah investor pasar modal masih terpusat di Pulau Jawa, yakni sekitar 71,4 persen dari total investor pada Juni 2020. Sementara, Pulau Sumatera hanya berkontribusi 15,57 persen, Kalimantan 4,9 persen, Sulawesi 3,58 persen, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara timur (NTT) 3,3 persen, serta Maluku dan Papua 1,24 persen.

Dar tahun ke tahun, jumlah investor domestik terus mendominasi, yakni mencapai 99,09 persen dari total jumlah investor pada 30 Juni 2020. Begitu juga apabila dilihat investor ritel (individu) dibandingkan institusi yang mencapai 98,94 persen dari total jumlah investor.

Butuh Konsultasi?

Hubungi Kami